Filosofi sate Maranggi bikin hidup semakin gigih

16 November 2016

"Dalam satu tusuk maranggi, saya selalu memasukkan tiga daging. Itu ada artinya, daging pertama berarti tekad, daging kedua ucapan, dan daging ketiga memiliki makna gerak langkah kaki kita dalam berusaha," kata R Najib Siradj, salah seorang pengusaha Sate Maranggi di di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Pak Ajib, sapaan akrabnya, menerapkan filosofi itu selama menjadi pedagang sate. Itu sekaligus menjadi bentuk tekad dan optimisme dalam menjalankan sebuah usaha.

Pria berusia 63 Tahun ini merupakan contoh pengusaha sate Maranggi terbilang sukses di Purwakarta. Malang melintang selama lebih dari 30 tahun, mantan buruh kontrak pada salah satu perusahaan BUMN ini, awalnya bermodal nekat dalam merintis usahanya berbekal sisa uang pesangon akibat pemutusan kontrak.

"Pertengahan tahun 1986 kontrak saya diputus oleh perusahaan. Saya menerima uang pesangon Rp 308 ribu. Akhirnya, sisa belanja kebutuhan sehari-hari, saya memberanikan diri membuat usaha sate maranggi. Waktu itu dengan cara berkeliling, pakai tanggungan, belum ada warung ini," tutur Ajib di warungnya Kalan Mr Dr Kusumaatmadja Purwakarta. Sabtu (15/10).

Awal dia berdagang harus banting tulang. Dia kala itu menjajakan dagangannya dengan keliling dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi sate Maranggi dagangannya sulit dipasarkan.

"Saat itu untuk balik modal pun sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Sepi pembeli membuat saya berpindah dari pasar simpang, ke pasar rebo bahkan pernah juga berdagang sate Maranggi di Pasar Jumat," ujar Ajib.

Alhasil tak jarang sate dagangannya banyak tersisa, sehingga tak segan membagikan kepada setiap orang dia temui di jalanan secara gratis. Namun, Ajib memiliki pemikiran yang terbilang ajaib. Dia menganggap pemberian sisa sate itu sebagai bentuk sedekah dalam agama, juga cara dirinya untuk mempromosikan usaha. Untuk itu di setiap bungkus maranggi dia bubuhkan stempel dengan nama Maskar (Masakan Karuhun) Sate Maranggi Pak Ajib.

"Saya setiap hari mengolah 5 Kg daging, paling laku 2 Kg hingga 3 Kg. Sisanya saya bakar saja, saya bagikan secara gratis lengkap dengan cap stempel. Saya kirimkan juga ke radio-radio di Purwakarta. Jalan kaki Pak," kisah Ajib.

Seiring perjalanan waktu dan usahanya dalam mempromosikan sate Maranggi, Ajib mulai menuai berkah. Dia mulai menerima banyak pesanan sate maranggi yang dinamainya sebagai resep karuhun tersebut.

Ajib mengenang masa lalunya, ketika salah satu perusahaan di Cikampek menjadi pemesan pertama dengan jumlah 10 ribu tusuk.

Waktu terus berpacu, bukan pesanan bukan saja datang dari kalangan masyarakat dan pengusaha, Ajib juga menceritakan jika Presiden Republik Indonesia ke 5, Megawati Soekarno Putri juga pernah memesan sate marangginya untuk acara. Saat itu Megawati memesan maranggi dengan menghabiskan bahan dasar daging sapi mencapai 50 Kilogram.

"Ya dari situ mulailah sate maranggi terutama maranggi Ajib dikenal, bahkan pesanan saat itu juga datang dari Universitas Padjadjaran Bandung untuk makan siang di salah satu acara besar disana," kenang Ajib.

"Berkah sedekah intinya, saat kita dalam keadaan terjepit dan sulit, solusinya ternyata bukan menabung dan menumpuk harta, tetapi memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Seadanya kita. Tidak perlu ditambah atau dikurang. Sekemampuan saja," kata Ajib.

Pria mengaku sudah tujuh kali menikah ini pun sempat menceritakan asal mula Maranggi. Saat dia duduk di kelas tiga sekolah dasar, dirinya mengaku pernah melihat seseorang bernama Mak Anggi memotong daging dan menusukannya ke dalam tusukan berbahan bambu. Ajib pun diperkenalkan kedua orang tuanya kepada Mak Anggi asal dari daerah Cianting Plered, Purwakarta.

"Nama maranggi mungkin dari sini awal mulanya, penyebutan Maranggi untuk produk karuhun khas Purwakarta ini," ujar Ajib.

Setelah belajar dan banyak mengetahui tentang sate khas Purwakarta dari seorang nenek bernama Mak Anggi, Ajib kemudian modifikasi. Melalui bumbu dan racikan tertentu sehingga memiliki tekstur dan rasa khas jika dibandingkan dengan lainnya.

Ajib menjelaskan sate marangginya lebih fokus terhadap penyerapan bumbu baik sebelum maupun sesudah dibakar. Sehingga rasa dagingnya menjadi berbeda karena cenderung basah karena.

Kecintaan Ajib terhadap Maranggi seolah tidak pernah berhenti. Dia kemudian menemui Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang kala itu tengah gencar mempromosikan wisata dan kuliner.

Waktu itu, Ajib mengaku menyampaikan sejumlah pemikirannya pada Bupati Dedi. diantaranya jika ingin memajukan pariwisata maka sudah menjadi keharusan untuk melindungi aset pariwisata dan sate maranggi sebagai salah satu aset yang dimiliki Purwakarta.

Bak Gayung bersambut. Sang Bupati kemudian mengamininya, bahkan Dedi yang sebelumnya sudah menyiapkan beragam konsep menggenjot promosi maranggi, dengan melakukan beragam upaya. Mulai dari branding sate Maranggi dan mengumpulkan seluruh pedagang sate maranggi di Purwakarta untuk diberikan pelatihan, hingga pola produksi, promosi serta penjualan.

Dedi semakin tergerak selanjutnya mendaftarkan maranggi sebagai panganan khas Purwakarta. "Ini adalah yang utama, yaitu saya ingin berterima kasih kepada Pak Bupati. Kang Dedi telah berhasil membuat sate maranggi Purwakarta mendunia, ini terus terang saja diluar dugaan. Berkahnya sampai pada kami pegadang maranggi. Para pengunjung setiap harinya terus bertambah. Kalau akhir pekan kami bisa kewalahan melayani pengunjung," kata Ajib.

Dengan ketenaran sate maranggi, otomatis para pelaku usaha panganan itu semakin berkembang. Tidak terkecuali bagi Ajib. Bahkan dulu Ajib yang hanya memiliki warung kecil ukuran 4x4 meter, telah telah membuka usaha marangginya berupa Rumah Makan di berbagai daerah di Purwakarta.

Diakhir perbincangan, Ajib pria tujuh isteri itu memberi pesan sebagai kiat sukses dalam usaha. "Kuncinya adalah kerja keras, tidak takut berinovasi guna menuju kunci kesuksesan," pungkasnya.

 

Bram Salam

https://www.merdeka.com/peristiwa/filosofi-sate-maranggi-bikin-hidup-semakin-gigih.html